Posted on 00.58

Divestasi KPC

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sejak tahun 1945 Indonesia merdeka, Negara ini mengisi kemerdekaannya dengan memajukan dan mengembangkan modal utama dari Negara ini, yaitu sumber daya alam nya maupun sumber daya manusia yang ada. Salah satu yang menjadi optimalisasi pengembangan setelah kemerdekaan adalah sumber daya alam, dengan diadakannya penanaman modal asing semudah-mudahnya dan sebesar-besarnya. Berdasrakan hasrat tersebut lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
     Penanaman modal asing yang lebih dikenal dengan investasi ini dikembangkan seluas-luasnya oleh Pemerintah Indonesia, artinya beberapa bidang vital yang dimiliki Negara ini juga dapat diinvestasikan oleh Negara ini ke penanam modal asing dari luar. Beberapa bidang vital tersebut yaitu seperti pertambangan, pertanahan, dan lain sebagainya.

Negara juga memberikan kemudahan dalam beberapa hal seperti pajak, retribusi dan bea masuk serta pungutan-pungutan lainnya untuk penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing kemudian dalam perkembangannya, investasi atau penanaman modal ini tidak hanya diatur oleh pemerintah pusat, tetapi dikembangkan ke daerah-daerah yang ada di Negara ini. Hal itu tertuang di dalam Pasal 4 Undang-undang 1 Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa :
“Pemerintah menetapkan daerah berusaha Perusahaan-perusahaan modal asing di Indoesia dengan memperhtikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah, macam perusahaan, besarnya penanaman modal dan keinginan pemiliki modal asing sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah”

Hal tersebutlah yang memsporadis kan penanaman modal asing ke daerah-daerah, lebih lanjut diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian Insetif Dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah. Aturan tersebut lahir setelah adanya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Jo Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
Dengan lahirnya kedua aturan tersebut investasi di daerah memang berkembang, salah satu yang potensi perkembangannya pesat yaitu sektor pertambangan batu bara. Investasi modal asing dalam sektor pertambangan batubara dilaksanakan berdasarkan kontrak karya. Selanjutnya investasi modal asing khusus sektor pertambangan batubara dalam rangka menjaga aset daerah dan penguasaan sumber daya alam maka sejak Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sudah tersirat bahwa pada perkembangannya, usaha pertambangan diadakan pencadangan untuk kepentingan nasional.[1]
Pencadangan jenis kegiatan pertambangan batubara disebut untuk selanjutnya dikenal dengan divestasi pertambangan batubara. Dalam perekonomian Indonesia, divestasi bukanlah hal yang baru, begitu juga peraturan yang mengaturnya, bukan hal baru. Divestasi memunyai hubngan yang erat dengan investasi, Karena apabila diruntut, yang akan didivestasi adalah investasi, dalam hal ini yang beruungan langsung dengan Pemeritah. Investasi Pemerintah adalah :
“ Penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharaga dan investasi lagsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan atau manfaat lainnya”[2]

Investasi Pemerintah dapat digolongkan menjadi dua yaitu 1. investasi jangka panjang, 2. investasi langsung. Pengertian investasi langsung yaitu modal yang langsung ditanamkan oleh pemerintah terhadap badan usaha miik Negara (BUMN) dan/atau terhadap badan hokum lainnya. Ada dua macam investasi langsung yaitu 1. Penyertaan modal, 2. Pemberian pinjaman. Penyertaan modal yaitu bentuk investasi pemerintah pada badan usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas. Penyertaan modal pemerintah ditujukan kepada badan usaha atau pendirian perseroanterbatas. Hak pemerintah adalah mendapat hak kepimilikan.[3]
Investasi yang dimiiki pemerintah tidak selamanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan pemerintah sendiri memerlukan biaya yang besar untuk membangun. Investasi yang ditanamkan oleh pemerintah pada berbagai badan usaha yang ada, dapat dialihkan atau dijual atau didivestasi kepada pihak lainnya. Divestasi sendiri adalah “penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseuruhan kepada pihak lain”
Divestasi sendiri dikontruksikan sebagai jual beli. Jual beli sendiri adalah “ suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan “. Objek divestasi pemerintah adalah 1. surat berharga, dan 2. Kepemilikan atau aset. Surat berharga adalah saham dan/atau surat utang.[4] Yang diartikan dengan saham adalah surat bukti pemilikan modal perseroan terbatas yang memberi hak atas dividen  dan lainnya.[5] Subjek divestasi yaitu 1. pemerintah, dan 2. Pihak lainnya.
Dalam perkembangannya, pemerintah banyak melakukan divestasi terhadap perusahaan-perusahaan BUMN yang ada di Negara ini. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Badan Usaha Milik Negara terdiri dari 1. Persero, dan 2. Perum. Persuhaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan.
Salah satu divestasi yang dilakukan pemerintah terhadap Perusahaan peghasil batubara terbesar yang ada di Negara ini yaitu dengan PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Perusahaan tambang ini berdiri pada tahun 1982, PT. Kaltim Prima Coal yang berlokasi di Sangatta, tepi timur Kalimantan masuk ke dalam perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan berakhir pada tahun 2021. Perjanjian ini meliputi eksplorasi, produksi, dan pemasaran batubara dari area perjanjian di Kalimantan Timur. PT. KPC adalah salah satu perusahaan pertambangan batubara yang besar di dunia, konsensi lahannya mencakup 90.000 hektar. Divestasi Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah Daerah kabupaten Kutai Timur membeli saham 51% PT. KPC pada tahun 2003. Divestasi tersebut berupa hak pembelian dari PT. KPC kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, yang mana hal tersebut telah disepakati oleh Keputusan Sidang Kabinet Terbatas DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan DPRD Kabupaten Kutai Timur pada tanggal 31 Juli 2002. Berdasarkan Kesepakatan tersebut, hak pembelian saham 51% tersebut dicalonkan jatah sebanyak 20% kepada Pemerintah Pusat yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam, 31% saham dibagi 12,4%  untuk Pemerintah Provinsi Kalimatan Timur melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS), dan 18,63% untuk Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui Perusda Pertambangan dan Energi Kutim (PEKT).[6]
 Pada perjalanannya pada tahun 2003 saham 51% tersebut dibagi sesuai dengan peruntukannya, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam hal ini Bupati yang menjabat yaitu Mahyudin, menjual saham 18,6% kepada PT. Bumi Resources pada  tanggal 13 Oktober 2003 yang mana seperti diketahui bahwa  PT. Bumi Resources telah menyatukan diri dengan BP International Limited dan Pacific Resources Investment Limited yang mana membeli saham-saham pada Sangatta Holding Limited dan Kalimantan Coal Limited yang notabene adalah pemegang saham 100% PT.KPC. Hal tersebut berlangsung pada tanggal 16 Juni 2003.
Pada perkembangannya PT. Bumi Resources setuju menyerahkan 5% saham yang ada kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Saham 5% tersebut dijual kembali kepada PT. Kutai Timur Energi yang dibentuk oleh Mahyudin, Bupati Kutai Timur yang menjabat pada saat itu.  PT. Kutai Timur Energi merupakan anak perusahaan dari Perusda PT. Kutai Timur Investama, yang mana 99% saham PT. KTE adalah milik PT. KTI.
Dalam hal ini, advance deviden 5 % saham PT. KPC yang ada di PT. KTE yang patut dipertanyakan. Saham 5% yang wajibnya dimiliki oleh Pemerintah Kutai Timur  dalam hal ini bisa berbentuk badan usaha daerah, tetapi bukan badan usaha swasta. Seperti yang diketahui bahwa PT, KTE walaupun anak perusahaan dari Perusda PT. KTI tetapi bentuknya adalah swasta murni. PT. KTE dalam hal advance deviden untuk Pemerintah Kabupaten Kutai Timur hanya diberikan sebanyak 3x, dan itu dilakukan secara bertahap. Oleh karena dianggap advance deviden tersebut lebih menguntungkan apabila digunakan untuk pembangunan daerah Kutai Timur maka timbullah aspirasi dari DPRD Kutai Timur untuk menjualnya.
Penjualan tersebut dibeli oleh PT. Kutai Timur Sejahtera yang mana meruakan group company dari PT. Bumi Resources. Hasil penjualan sebesar Rp. US$ 63 juta atau Rp. 576 Miliar diminta oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk rencana investasi, tetapi tidak pernah di presentasikan PT. KTE akan menginvestasikan hasil penjualan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, terdakwa kasus korupsi divestasi saham PT. KPC tersebut yaitu Apidian dan Anung diberi ganjaran hukuman pidana yang berbeda-beda. Apidian pada tingkat pengadilan pertama, dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, sedangkan Anung diberi ganjaran pidana 5 tahun dengan denda 300 Juta Subsidair 3 bulan.
Tersangka Apidian naik kasasi dan putusan kasasi menjatuhkan pidana 12 tahun dengan denda 1 Miliar Subsidair 8 bulan. Berbeda dengan Anung yang naik banding pada Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda dan dijatuhi hukuman lebih berat dengan pidana 6 tahun denda 300 juta subsidair 6 bulan. Anung pun kasasi pada tingkat Mahkamah Agung dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun denda 1 Miliar dan subsidair 8 bulan.
Dan beberapa nama yang ada di kasus sampai saat ini, ada yang masih di periksa dan masih diselidiki, dan Bupati terpilih pada saat itu (di Kutai Timur) tidak dilanjutkan pemeriksaannya oleh Kejaksaan Agung RI, kasus korupsi divestasi PT. Kaltim prima Coal yang melibatkan Awang Faroek, Gubernur terpilih Provinsi Kalimantan Timur saat ini, telah di SP3 kan.
Peliknya perjalanan divestasi saham 51% PT.KPC tersebut sangat sarat akan indikasi perbuatan melawan hukum tindak pidana korupsi, tetapi atas kejadian yang terjadi sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 masih diperlukan kejelasan jalannya kasus yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu diperlukan pembahasan lebih lanjut terhadap :
DISPARITAS PENJATUHAN HUKUMAN PIDANA DALAM PERKARA KORUPSI DALAM DIVESTASI SAHAM 51% BERDASARKAN KONTRAK KARYA ANTARA PT. KALTIM PRIMA COAL DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA.
A.      RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang diatas yaitu :
1.    Apa Faktor-faktor Yang Menyebabkan Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia ?
2.    Bagaimana Restrukturisasi Undnag-undang Tindak Pidana Korupsi Meninjau Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia ?
B.       TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui, menganalisa dan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan disparitas penjatuhan hukuman pidana perkara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.   
2.    Untuk mengkaji Rencana Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana meninjau disparitas penjatuhan hukuman pidana perkara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Manfaat penulisan ini adalah :
1.      Untuk memberikan pengetahuan mengenai jalannya perara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.
2.      Untuk bahan masukan bagi pembentukan kebijakan-kebijakan yang menyelesaikan persoalan perara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.







BAB II
PEMBAHASAN

1.      Faktor-faktor Yang Menyebabkan Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyilidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana.
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut masing-masing petugas hukum (Polisi,Jaksa,Hakim) meskupun tugasnya berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalams atu kesatuan sistem, artinya kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional. Karena seperti yang diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan tersebut, adlaah merupakan suatu sistem yaitu secara keseluruhan terangkai yang terdiri dari atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional.
Dalam hal ini, peradilan pidana di pandang sebagai suatu sistem. Karena dalam peradilan pidana tersebut, terdapat beberapa lembaga yang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidangnya serta peraturan yang berlaku. Walaupun dalam peradilan pidana itu terdapat berbagai komponen, akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi kejahatan (over coming crime) dan penecegahan kejahatan (prevention of crime). Oleh karena itu sistem peradilan pidana itu harus dibangun dari proses-proses sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat terdapat sejumlah sistem dan subsistem yang dpat mempengaruhi kehidupan manusia termasuk sistem peradilan pidana itu sendiri. Banyak sistem berbeda dalam masyarakat yang mempunyai suatu dampak pada perorangan sebelum ia mempunyai hubungan dengan sistem peradilan pidana. Ia adalah pembawaan sejak lahir mental tertentu adalah pisik kemampuan dan kecenderungan yang boleh menerima warisan. Selama hidupnya ia datang dalam hubungan dengan berbagai kelompok, seperti keluarga. Peran penting yang mana dalam hidupnya yang lain sistem ekonomi, teknologi politis dan bermasyarakat antar orang lain mempunyai suatu substabsial mempengaruhi hidupnya. Bahkan ekonomi sebagai infrastruktur dapat mempengaruhi bidang-bidang lainnya, acapkali terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu akibat pengaruh dari ekonomi[7].
Faktor-faktor yang menyebabkan disapritas penjatuhan hukuman pidana pada kasus divestasi diatas anatara lain karena sistem peradilan pidana itu sendiri, yang didalamnya terdapat sub sistem-sub sistem, baik itu cara bekerjanya Polisi, Jaksa (dakwaan), dan hakim (putusan dan pertimbangan), dan cara-cara penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di dalam terjadinya sistem peradilan pidana.
Alam praktek sejak lahirnya Arrest Lindenbaum Cohen pada tahun 1919 terdapat 4 kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu :
1.      Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.      Melanggar hak subjektif orang lain
3.      Melanggar kaidah tata susila
4.      Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain[8].
 Dalam hal ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas penjatuhan hukuman pidana dalam kasus korupsi divestasi PT. Kaltim prima Coal dilihat dari sistem pembuktian perbuatan melawan hukum pidananya.
Unsur melawan hukum tidak disertakan penjelasan terperinci di dalam KUHAP dan KUHP. Kenyataannya dalam rumusan tindak pidana, dimana sebgaian kecil unsur melawan hukum dicantumkan dan sebagian besar tidak. Dari keterangan Risalah penjelasan (Smidt I, halaman 409) sifat melawan hukum selalu ada pada setiap tindak pidana, merupakan usnusr mutlak.
1.      Unsur pembuktian sifat melawan hukum materiil negatif
Kajian unsur melawan hukum dari sudut rumusan tindak pidana dalam UU KUHAP, dapat dilihat dari dua keadaan.
a.    Keadaan bahwa unsur melawan hukum sedikit kurang (kurang dari 10%) rumusan tindak pidana dicantumkan secara tegas dan sebgian besar (lebih dari 90%) memunculkan pandangan sifat melawan hukum yang formil dan materiil.
b.    Keadaan unsur melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, dimana pada sebagian sifat melawan hukum dituju oleh unsur maksud dan sebgaian tidak, memnuculkan padnagan sifat melawan hukum yang subjetif dan objektif.
Jadi setidaknya ada 4 pandangan besar mengenai sifat melawan hukum dalam tindak pidana. Pandangan sifat melawan hukum materiil, sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum objektif dan sifat melawan subjektif.
Pandangan materiil negatif telah dianut dalam praktik hukum sejak arrest HR tanggal 20 Februari 1933 yang dikenal dengan Vee-arts arrest. Hanya saja diterapkan secara negatif dengan tujuan untuk tidak mempidana pembuat berbuat sesuatu yang nyata-nyata menurut kesadaran hukum masyarakat tidak merupakan celaan.
Pekerjaan membuktikan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif bukan pekerjaan jaksa. Dlam hukum pembuktian tidak ada ketentuan mengenai pembebanan pembuktian adanya sifat melawan hukum materiil yang negatif, maka beban pembuktian ini jatuh pada hakim dan penasehat hukum. Sebaliknya Jaksa tetap dibebani kewajban membuktikan terhadap semua unsur-unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
Contohnya pada penjatuhan hukuman Apidian yang diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama, karena pertimbangan hakim menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dimaksudkan dalam tindak pidana korupsi, tetapi pada tingkat kasasi, tersangka dijatuhi hukuman pidana penjara selama 12 tahun, hal ini sangat berbeda. Dapat diyakini bahwa pertimbangan hakim pada tingkat pertama menggunakan pembuktian formil negatif .
 Keadilan lebih diutamakan dari pada kepastian hukum. Kepastian hukum ditegakkan adalah untuk mencapai keadilan. Jika keadilan sudah dicapai tanpa menegakkan kepastian hukum, maka kepastian hukum tidka diperlukan. Inilah filosofi dari penerapan pandangan sifat melawan hukum materiil secara negatif.
2.      Pembuktian sifat melawan hukum formil dalam tindak pidana
Sifat melawan hukum formil diartikan unsur melawan hukum secara tegas dalam rumusan tindak pidana, sifat tercela dari perbuatan dalam rumusan tindak pidana yang terletak pada Peraturan perundang-undangan. Pembuktian unsur sifat mealwan hukum formil dalam praktik penegakan hukum pidana ditentukan dari 2 hal yaitu :
a.    Kedudukan unsur melawan hukum tersebut diletakkan dalam kalimat rumusan tindka pidana, hubungan antara unsur melawan hukum dengan unsur-unsur lainnya dalam kompleksitas unsur-unsur tindak pidana.
b.      Bergantung darimana atau sumber keberadaan sifat terlarangnya perbuatan pada masing-masing kasus.
Ada dua kedudukan dalam unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, yang pertama unsur yang bersifat objektif dan unsur bersifat subjektif. Cara pembuktian dan pandangan pihak-pihak dalam unsur subjektif dan objektif berbeda-beda.
Mengenai huruf (b), hal atau seumber keberadaan sifat melawan hukum dapat menunjukan sumber formil maupun materiil. Seperti unsur melawan hukum pada Pasal 2 UUTPK jaksa selalu mencari sumber tertulis, pertauran perundang-undagan yang dilanggar oleh terdakwa dalam melakukan aktifitas perbuatan memperkaya.















2.       Restrukturisasi Pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Meninjau Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Kebijakan hukum pidana merupakan upaya pemerintah dalam menganggulangi kejahatan dengan mempergunakan hukum pidana yang disebut juga sebagai politik kriminal atau politik hukum pidana.
Mengenai kebijakan hukum pidana ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa :
“ Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa poilitik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).”

Jika kaitannya terhadap kebijakan hukum pidana mengenai tindak pidana korupsi, sejak pemerintah Indonesia merdeka telah berupaya terus untuk itu. Hal ini terbukti di dalam ketentuan hukum pidana materiil (KUHPidana) yang merupakan warisan zaman colonial Belanda (Wvs) yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 26 Februari 1946 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 belum mengatur secara tegas tentang tindak pidana korupsi di Indonesia. Akan tetapi, pada saat itu hanya dikenal rumusan korupsi dengan istilah “menyuap atau menyogok” yang berikaitan dengan pegawai negeri atau keuangan dan perekonomian negara sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 430, dan Pasal 435 KUHPidana.
Istilah korupsi baru dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP yaitu sejak adanya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/-06/1857 tanggal 9 April  1957 tentang Pemeberantasan Korupsi. Hal itu diterbitkan karena negara pada saat itu dalam keadaan bahaya perang.
Dengan cikal bakal peraturan militer tersebut maka disempurnakanlah di dalam Perpu Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 Tentang Pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan kembali di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang pemeberantasan tindak pidana korupsi, dan setelah jatuhnya era orde baru dan reformasi lahir, maka lahirlah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Tentang tindak pidana korupsi.
Ada beberapa perbedaan yang dapat diambil terhadap lahirnya Undang-undang tipikor yang baru, diantaranya yaitu pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang tipikor tidak mengacu pada pasal KUHP tetapi langsung menyebutkan unsure-unsur delik yang bersangkutan dan menyisipkan/menambahkan pasal baru ke dalam undang-undang tipikor yaitu pasal 12-A, Pasal12-B, Pasal 12-C, Pasal 26-A, Pasal 38-A, Pasal 38-B, dan Pasal 38-C serta Pasal 43 tentang ketentuan peralihan. Selain itu undang-undang perubahan tipikor telah menegaskan tentang batas maksimum dan minimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang tersebut.
Ada beberapa perbedaan yang dapat ditemukan pada Undang-undang tipikor terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971  antara lain :
1.    Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi
2.    Tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana formil
3.    Perluasan tentang pengertian pegawai negeri
4.        Ancaman pidana diperberat dengan menentukan batas minimum dan maksimum
5.    Adanya sistem pembuktian terbalik
6.        Dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan masyarakat.
Restrukturisasi mengenai tindak pidana korupsi bukan saja terletak pada berubahnya bunyi-bunyi pasal dalam Undang-undang tipikor dari era orde baru yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana korupsi, tetapi juga terdapat di dalam bunyi pasal RUU KUHP (berbeda juga dengan pasal di KUHAP). Restrukturisasi ini diidentifikasikan sebagai hal-hal berikut :
1.        Ada yang mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi beberapa rumusan delik di dalam KUHP
2.        Ada yang mengubah perumusan delik dalam KUHP
3.        Ada yang menambahkan/memasukkan delik baru dalam KUHP
4.        Ada yang membuat perumusan delik di luar KUHP (diatur dalam UU khusus di luar KUHP).[9]
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tipikor yang baru dan ditambah dari adanya RUU KUHP baru ada dua sarana yang harus ditempuh untuk memberantas perbuatan korupsi yaitu :
1.    Sarana Penal
Faktor dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas sekali (multidimensi) yang pada hakikatnya tidak hanya menyangkut aspek ekonomis saja, tetapi juga meliputi aspek sosial, budaya, politik serta birokrasi/administrasi dan sebagainya. Jika diperhatikan terhadap ketentuan hukum, lebih dari cukup ketentuan tersebut untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi apalagi sanksi pidana yang mengancamnya juga sudah cukup menjanjikan untuk membuat takut dan jera bagi pelaku. Namun dalam hal ini tergantung kesiapan hakim untuk mengimplementasikan ketentuan yang ada secara maksimal dalam putusannya.
2.    Sarana Nonpenal
Cara non penal dapat ditempuh dalam beberapa hal yaitu :
a.    Cara moralistik
Cara moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan etika dan hukum.
Mengenai hak ini Kwik Kian Gie menyatakan bahwa:
“ Dalam mencoba menemukan konsep yang konkret dan dapat dilaksanakan, titik tolak adalah manusianya yang harus diabuat beabs KKN atau takut melakukan KKN. Perangkat hukum, lembaga-lemabga, sistem, prosedur, pengambilan keputusan, transparasi dan sebagainya bukannya tidak penting, ettapi otak manusia yang tidak terbatas kemampuannya akan selalu mampu menyelewengman atau menghindari segala sesuatunya”[10]

            Pendapat tersebut menindikasikan bahwa pembinaan moral penting dan utama apabila ingin membenahi korupsi-korupsi yang terjadi di negeri ini.
b.    Cara abolisionistik
Cara ini berangkat dari asusmsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian pennaggulangan diserahkan pada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Kemudian jalan yang ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah pada tindakan-tindakan korupsi meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, serta menindak orang-orang korup berdasarkan hukum yang berlaku.
Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah bahwa hukum hendaknya ditegakkan secara konsekuen dan aparat harus menindak siapa saja yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu termasum yang dilakukan korporasi.
Dari sebab-sebab terjadinya tindak pidana korupsi tersebut dengan melihat aspek-aspek ekonomis, social, budaya, dan lain-lain maka upaya-upaya nonpenal yang secara sistem terintegerasi memang relative penetapannya. Namun hal-hal yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi adalah yaitu :
- Peran pengawasan dalam penanggulangan korupsi
- Sistem Kesejahteraan
- Diterapkannya manajemen mutu dalam setiap kegiatan




BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah :
a.       Faktor-faktor yang menyebabkan disapritas penjatuhan hukuman pidana pada kasus divestasi diatas anatara lain karena sistem peradilan pidana itu sendiri, yang didalamnya terdapat sub sistem-sub sistem, baik itu cara bekerjanya Polisi, Jaksa (dakwaan), dan hakim (putusan dan pertimbangan), dan cara-cara penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di dalam terjadinya sistem peradilan pidana. Unsur melawan hukum tidak disertakan penjelasan terperinci di dalam KUHAP dan KUHP. Kenyataannya dalam rumusan tindak pidana, dimana sebgaian kecil unsur melawan hukum dicantumkan dan sebagian besar tidak. Dari keterangan Risalah penjelasan (Smidt I, halaman 409) sifat melawan hukum selalu ada pada setiap tindak pidana, merupakan usnusr mutlak.
- Unsur pembuktian sifat melawan hukum materiil negatif
- Unsur pembuktian sifat melawan hukum formil positif
b.    Ada beberapa perbedaan yang dapat diambil terhadap lahirnya Undang-undang tipikor yang baru, diantaranya yaitu pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang tipikor tidak mengacu pada pasal KUHP tetapi langsung menyebutkan unsure-unsur delik yang bersangkutan dan menyisipkan/menambahkan pasal baru ke dalam undang-undang tipikor yaitu pasal 12-A, Pasal12-B, Pasal 12-C, Pasal 26-A, Pasal 38-A, Pasal 38-B, dan Pasal 38-C serta Pasal 43 tentang ketentuan peralihan. Selain itu undang-undang perubahan tipikor telah menegaskan tentang batas maksimum dan minimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang tersebut.
Ada beberapa perbedaan yang dapat ditemukan pada Undang-undang tipikor terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971  antara lain :
1.      Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi
2.      Tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana formil
3.      Perluasan tentang pengertian pegawai negeri
4.      Ancaman pidana diperberat dengan menentukan batas minimum dan maksimum
5.      Adanya sistem pembuktian terbalik
6.      Dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan masyarakat.




[1] Pasal 66 Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan
[2] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.
[3] Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemrintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi pemerintah.
[4] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divesasi terhadap Investasi Pemerintah.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1989). Hal. 766
[6] https://www.gogle.com. Hiariej.O.S.Eddy. 2010. Uraian Secara Kronlogis Dugaan Korupsi Penjualan Saham PT. Kaltim Prima Coal Milik PT. Kutai Timur Energi sebesar 5 %.
[7] Dalam bidang ekonomi, banyak sekali sistem lainnya dalam masyarakat yang tergantung kepada ekonomi, hampir dari semua perkara yang masuk ke pengadilan, terdakwanya beralasan karena ekonomi. Dan sampai urusan mencari keadilan pun harus dengan ekonomi. Dalam hal ini M. Harvey Brenner mengatakan : Di dalam transformasi politik ini, inidkator utama kedudukan sosial bergeser dari indikator yang semula didasarkan pada hubungan kekeluargaan dalam stuktur soisla menjadi indikator yang didasarkan pada ekonomi di dalam struktur industri. Dengan demikian pengertian di dalam bidang ekonomi itu sendiri semakin lama akhirnya menjadi cermin nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Yang akibatnya semua hubungan kemasyarakatan didasarkan pada hubungan ekonomis. Selanjutnya dapat dilihat dari M Haervey Brener, Pengaruh Ekonomi Terhadap Perilaku Jahat Dan Penyelenggaraan Peradilan pidana, CV. Rajawali Jakarta, 1986. Hlm. 6-7. Pengaruh ekonomi terhadap peradilan pidana dapat juga dilihat dari JE Hall Wiliams, Criminology And Criminal Justice London; Butterworths, 1982, hlm 230.
[8] Yunara, Edi. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi; Berikut Studi Kasus. Citra Aditya Bakti. Bandung
[9] Arief. N Barda. 2007. RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Pustaka Magister. Semarang
[10] Kwik Kian gie dalam Musni Umar dan Syukri Ilyas, Korupsi Musuh Bersama, Lembaga Pencegah Korupsi, Jakarta. 2004. Hlm. 1-2.
Read More

One response to Divestasi KPC

  1. AMISHA
    24 April 2020 pukul 03.51
    Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Posting Komentar