BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sejak tahun 1945 Indonesia
merdeka, Negara ini mengisi kemerdekaannya dengan memajukan dan mengembangkan
modal utama dari Negara ini, yaitu sumber daya alam nya maupun sumber daya
manusia yang ada. Salah satu yang menjadi optimalisasi pengembangan setelah
kemerdekaan adalah sumber daya alam, dengan diadakannya penanaman modal asing
semudah-mudahnya dan sebesar-besarnya. Berdasrakan hasrat tersebut lahirlah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
Penanaman modal asing yang lebih dikenal dengan investasi ini
dikembangkan seluas-luasnya oleh Pemerintah Indonesia, artinya beberapa bidang
vital yang dimiliki Negara ini juga dapat diinvestasikan oleh Negara ini ke
penanam modal asing dari luar. Beberapa bidang vital tersebut yaitu seperti
pertambangan, pertanahan, dan lain sebagainya.
Negara juga memberikan
kemudahan dalam beberapa hal seperti pajak, retribusi dan bea masuk serta
pungutan-pungutan lainnya untuk penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman
Modal Asing kemudian dalam perkembangannya, investasi atau penanaman modal ini
tidak hanya diatur oleh pemerintah pusat, tetapi dikembangkan ke daerah-daerah
yang ada di Negara ini. Hal itu tertuang di dalam Pasal 4 Undang-undang 1 Tahun
1967 yang menyebutkan bahwa :
“Pemerintah
menetapkan daerah berusaha Perusahaan-perusahaan modal asing di Indoesia dengan
memperhtikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah, macam perusahaan,
besarnya penanaman modal dan keinginan pemiliki modal asing sesuai dengan
rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah”
Hal tersebutlah yang
memsporadis kan penanaman modal asing ke daerah-daerah, lebih lanjut diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian
Insetif Dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah. Aturan tersebut
lahir setelah adanya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Jo Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
Dengan lahirnya kedua aturan
tersebut investasi di daerah memang berkembang, salah satu yang potensi
perkembangannya pesat yaitu sektor pertambangan batu bara. Investasi modal
asing dalam sektor pertambangan batubara dilaksanakan berdasarkan kontrak
karya. Selanjutnya investasi modal asing khusus sektor pertambangan batubara
dalam rangka menjaga aset daerah dan penguasaan sumber daya alam maka sejak Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sudah tersirat bahwa pada
perkembangannya, usaha pertambangan diadakan pencadangan untuk kepentingan
nasional.[1]
Pencadangan jenis kegiatan
pertambangan batubara disebut untuk selanjutnya dikenal dengan divestasi
pertambangan batubara. Dalam perekonomian Indonesia, divestasi bukanlah hal
yang baru, begitu juga peraturan yang mengaturnya, bukan hal baru. Divestasi
memunyai hubngan yang erat dengan investasi, Karena apabila diruntut, yang akan
didivestasi adalah investasi, dalam hal ini yang beruungan langsung dengan Pemeritah.
Investasi Pemerintah adalah :
“ Penempatan
sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian
surat berharaga dan investasi lagsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial
dan atau manfaat lainnya”[2]
Investasi Pemerintah dapat digolongkan menjadi dua
yaitu 1. investasi jangka panjang, 2. investasi langsung. Pengertian investasi
langsung yaitu modal yang langsung ditanamkan oleh pemerintah terhadap badan
usaha miik Negara (BUMN) dan/atau terhadap badan hokum lainnya. Ada dua macam
investasi langsung yaitu 1. Penyertaan modal, 2. Pemberian pinjaman. Penyertaan
modal yaitu bentuk investasi pemerintah pada badan usaha dengan mendapat hak
kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas dan/atau pengambilalihan
perseroan terbatas. Penyertaan modal pemerintah ditujukan kepada badan usaha
atau pendirian perseroanterbatas. Hak pemerintah adalah mendapat hak
kepimilikan.[3]
Investasi yang dimiiki pemerintah tidak selamanya
memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan pemerintah sendiri memerlukan biaya
yang besar untuk membangun. Investasi yang ditanamkan oleh pemerintah pada
berbagai badan usaha yang ada, dapat dialihkan atau dijual atau didivestasi
kepada pihak lainnya. Divestasi sendiri adalah “penjualan surat berharga
dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseuruhan kepada pihak
lain”
Divestasi sendiri dikontruksikan sebagai jual beli.
Jual beli sendiri adalah “ suatu persetujuan, dengan mana pihak satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk
membayar harga yang dijanjikan “. Objek divestasi pemerintah adalah 1. surat
berharga, dan 2. Kepemilikan atau aset. Surat berharga adalah saham dan/atau
surat utang.[4]
Yang diartikan dengan saham adalah surat bukti pemilikan modal perseroan
terbatas yang memberi hak atas dividen
dan lainnya.[5]
Subjek divestasi yaitu 1. pemerintah, dan 2. Pihak lainnya.
Dalam perkembangannya, pemerintah banyak melakukan
divestasi terhadap perusahaan-perusahaan BUMN yang ada di Negara ini. Badan
usaha milik negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Negara yang dipisahkan. Badan Usaha Milik Negara terdiri dari 1.
Persero, dan 2. Perum. Persuhaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan
terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah,
yang tujuannya mengejar keuntungan.
Salah satu
divestasi yang dilakukan pemerintah terhadap Perusahaan peghasil batubara
terbesar yang ada di Negara ini yaitu dengan PT. Kaltim Prima Coal (KPC).
Perusahaan tambang ini berdiri pada tahun 1982, PT. Kaltim Prima Coal yang berlokasi
di Sangatta, tepi timur Kalimantan masuk ke dalam perjanjian Karya Perusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan berakhir pada tahun 2021. Perjanjian
ini meliputi eksplorasi, produksi, dan pemasaran batubara dari area perjanjian
di Kalimantan Timur. PT. KPC adalah salah satu perusahaan pertambangan batubara
yang besar di dunia, konsensi lahannya mencakup 90.000 hektar. Divestasi
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah Daerah kabupaten Kutai Timur membeli
saham 51% PT. KPC pada tahun 2003. Divestasi tersebut berupa hak pembelian dari
PT. KPC kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, yang mana hal tersebut telah
disepakati oleh Keputusan Sidang Kabinet Terbatas DPRD Provinsi Kalimantan
Timur dan DPRD Kabupaten Kutai Timur pada tanggal 31 Juli 2002. Berdasarkan
Kesepakatan tersebut, hak pembelian saham 51% tersebut dicalonkan jatah
sebanyak 20% kepada Pemerintah Pusat yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam, 31%
saham dibagi 12,4% untuk Pemerintah
Provinsi Kalimatan Timur melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS), dan 18,63%
untuk Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui Perusda Pertambangan dan Energi
Kutim (PEKT).[6]
Pada perjalanannya
pada tahun 2003 saham 51% tersebut dibagi sesuai dengan peruntukannya, dan
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam hal ini Bupati yang menjabat yaitu
Mahyudin, menjual saham 18,6% kepada PT. Bumi Resources pada tanggal 13 Oktober 2003 yang mana seperti
diketahui bahwa PT. Bumi Resources telah
menyatukan diri dengan BP International
Limited dan Pacific Resources
Investment Limited yang mana membeli saham-saham pada Sangatta Holding Limited dan Kalimantan Coal Limited yang notabene adalah
pemegang saham 100% PT.KPC. Hal tersebut berlangsung pada tanggal 16 Juni 2003.
Pada perkembangannya PT. Bumi Resources setuju
menyerahkan 5% saham yang ada kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Saham 5%
tersebut dijual kembali kepada PT. Kutai Timur Energi yang dibentuk oleh
Mahyudin, Bupati Kutai Timur yang menjabat pada saat itu. PT. Kutai Timur Energi merupakan anak
perusahaan dari Perusda PT. Kutai Timur Investama, yang mana 99% saham PT. KTE
adalah milik PT. KTI.
Dalam hal ini, advance
deviden 5 % saham PT. KPC yang ada di PT. KTE yang patut dipertanyakan.
Saham 5% yang wajibnya dimiliki oleh Pemerintah Kutai Timur dalam hal ini bisa berbentuk badan usaha
daerah, tetapi bukan badan usaha swasta. Seperti yang diketahui bahwa PT, KTE
walaupun anak perusahaan dari Perusda PT. KTI tetapi bentuknya adalah swasta
murni. PT. KTE dalam hal advance deviden
untuk Pemerintah Kabupaten Kutai Timur hanya diberikan sebanyak 3x, dan itu
dilakukan secara bertahap. Oleh karena dianggap advance deviden tersebut lebih
menguntungkan apabila digunakan untuk pembangunan daerah Kutai Timur maka
timbullah aspirasi dari DPRD Kutai Timur untuk menjualnya.
Penjualan tersebut dibeli oleh PT. Kutai Timur
Sejahtera yang mana meruakan group
company dari PT. Bumi Resources. Hasil penjualan sebesar Rp. US$ 63 juta
atau Rp. 576 Miliar diminta oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk rencana
investasi, tetapi tidak pernah di presentasikan PT. KTE akan menginvestasikan
hasil penjualan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, terdakwa kasus korupsi
divestasi saham PT. KPC tersebut yaitu Apidian dan Anung diberi ganjaran
hukuman pidana yang berbeda-beda. Apidian pada tingkat pengadilan pertama,
dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, sedangkan Anung diberi ganjaran
pidana 5 tahun dengan denda 300
Juta Subsidair 3 bulan.
Tersangka Apidian naik kasasi dan putusan kasasi
menjatuhkan pidana 12 tahun dengan denda 1 Miliar Subsidair 8 bulan. Berbeda
dengan Anung yang naik banding pada Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di
Samarinda dan dijatuhi hukuman lebih berat dengan pidana 6 tahun denda 300 juta
subsidair 6 bulan. Anung pun kasasi pada tingkat Mahkamah Agung dan dijatuhi
hukuman penjara 15 tahun denda 1 Miliar dan subsidair 8 bulan.
Dan beberapa nama yang ada di kasus sampai saat ini,
ada yang masih di periksa dan masih diselidiki, dan Bupati terpilih pada saat
itu (di Kutai Timur) tidak dilanjutkan pemeriksaannya oleh Kejaksaan Agung RI,
kasus korupsi divestasi PT. Kaltim prima Coal yang melibatkan Awang Faroek,
Gubernur terpilih Provinsi Kalimantan Timur saat ini, telah di SP3 kan.
Peliknya perjalanan divestasi saham 51% PT.KPC
tersebut sangat sarat akan indikasi perbuatan melawan hukum tindak pidana
korupsi, tetapi atas kejadian yang terjadi sejak tahun 2002 sampai dengan tahun
2010 masih diperlukan kejelasan jalannya kasus yang sebenar-benarnya. Oleh
karena itu diperlukan pembahasan lebih lanjut terhadap :
DISPARITAS
PENJATUHAN HUKUMAN PIDANA DALAM
PERKARA KORUPSI DALAM DIVESTASI SAHAM 51% BERDASARKAN KONTRAK KARYA ANTARA PT. KALTIM PRIMA COAL DENGAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA.
A. RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil
berdasarkan latar belakang diatas yaitu :
1.
Apa Faktor-faktor Yang Menyebabkan Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara
Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT.
Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia ?
2.
Bagaimana Restrukturisasi Undnag-undang Tindak Pidana Korupsi Meninjau
Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam Kasus Divestasi
Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima Coal Dengan
Pemerintah Republik Indonesia ?
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah :
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui, menganalisa dan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan disparitas penjatuhan
hukuman pidana perkara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan
kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.
2.
Untuk
mengkaji Rencana
Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana meninjau disparitas penjatuhan
hukuman pidana perkara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 % berdasarkan
kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah Republik
Indonesia.
Manfaat penulisan ini adalah :
1. Untuk memberikan pengetahuan
mengenai jalannya perara korupsi dalam kasus divestasi saham 51 %
berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima Coal dengan Pemerintah
Republik Indonesia.
2. Untuk bahan masukan bagi
pembentukan kebijakan-kebijakan yang menyelesaikan persoalan perara korupsi dalam
kasus divestasi saham 51 % berdasarkan kontrak karya antara PT. Kaltim Prima
Coal dengan Pemerintah Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Faktor-faktor
Yang Menyebabkan Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara Korupsi Dalam
Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT. Kaltim Prima
Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme
bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyilidikan dan
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai pemeriksaan di sidang
pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas
lembaga pemasyarakatan yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum
acara pidana.
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana
tersebut masing-masing petugas hukum (Polisi,Jaksa,Hakim) meskupun tugasnya
berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalams atu kesatuan sistem, artinya
kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional.
Karena seperti yang diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan tersebut, adlaah
merupakan suatu sistem yaitu secara keseluruhan terangkai yang terdiri dari
atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional.
Dalam hal ini, peradilan pidana di pandang sebagai
suatu sistem. Karena dalam peradilan pidana tersebut, terdapat beberapa lembaga
yang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidangnya serta
peraturan yang berlaku. Walaupun dalam peradilan pidana itu terdapat berbagai
komponen, akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi
kejahatan (over coming crime) dan penecegahan kejahatan (prevention of crime).
Oleh karena itu sistem peradilan pidana itu harus dibangun dari proses-proses
sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini harus
memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat terdapat sejumlah sistem dan
subsistem yang dpat mempengaruhi kehidupan manusia termasuk sistem peradilan
pidana itu sendiri. Banyak sistem berbeda dalam masyarakat yang mempunyai suatu
dampak pada perorangan sebelum ia mempunyai hubungan dengan sistem peradilan
pidana. Ia adalah pembawaan sejak lahir mental tertentu adalah pisik kemampuan
dan kecenderungan yang boleh menerima warisan. Selama hidupnya ia datang dalam
hubungan dengan berbagai kelompok, seperti keluarga. Peran penting yang mana
dalam hidupnya yang lain sistem ekonomi, teknologi politis dan bermasyarakat
antar orang lain mempunyai suatu substabsial mempengaruhi hidupnya. Bahkan
ekonomi sebagai infrastruktur dapat mempengaruhi bidang-bidang lainnya,
acapkali terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu
akibat pengaruh dari ekonomi[7].
Faktor-faktor yang menyebabkan disapritas
penjatuhan hukuman pidana pada kasus divestasi diatas anatara lain karena
sistem peradilan pidana itu sendiri, yang didalamnya terdapat sub sistem-sub
sistem, baik itu cara bekerjanya Polisi, Jaksa (dakwaan), dan hakim (putusan
dan pertimbangan), dan cara-cara penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di dalam
terjadinya sistem peradilan pidana.
Alam praktek sejak lahirnya Arrest Lindenbaum Cohen
pada tahun 1919 terdapat 4 kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu :
1.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku
2.
Melanggar hak subjektif orang lain
3.
Melanggar kaidah tata susila
4.
Bertentangan dengan asas kepatutan,
ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain[8].
Dalam hal ini
akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas penjatuhan hukuman
pidana dalam kasus korupsi divestasi PT. Kaltim prima Coal dilihat dari sistem
pembuktian perbuatan melawan hukum pidananya.
Unsur melawan hukum tidak disertakan penjelasan
terperinci di dalam KUHAP dan KUHP. Kenyataannya dalam rumusan tindak pidana,
dimana sebgaian kecil unsur melawan hukum dicantumkan dan sebagian besar tidak.
Dari keterangan Risalah penjelasan (Smidt I, halaman 409) sifat melawan hukum
selalu ada pada setiap tindak pidana, merupakan usnusr mutlak.
1.
Unsur pembuktian sifat melawan hukum
materiil negatif
Kajian unsur melawan hukum dari sudut rumusan tindak
pidana dalam UU KUHAP, dapat dilihat dari dua keadaan.
a.
Keadaan bahwa unsur melawan hukum
sedikit kurang (kurang dari 10%) rumusan tindak pidana dicantumkan secara tegas
dan sebgian besar (lebih dari 90%) memunculkan pandangan sifat melawan hukum
yang formil dan materiil.
b.
Keadaan unsur melawan hukum yang
dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, dimana pada sebagian sifat melawan
hukum dituju oleh unsur maksud dan sebgaian tidak, memnuculkan padnagan sifat
melawan hukum yang subjetif dan objektif.
Jadi setidaknya ada 4 pandangan besar mengenai sifat
melawan hukum dalam tindak pidana. Pandangan sifat melawan hukum materiil,
sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum objektif dan sifat melawan
subjektif.
Pandangan materiil negatif telah dianut dalam
praktik hukum sejak arrest HR tanggal 20 Februari 1933 yang dikenal dengan
Vee-arts arrest. Hanya saja diterapkan secara negatif dengan tujuan untuk tidak
mempidana pembuat berbuat sesuatu yang nyata-nyata menurut kesadaran hukum
masyarakat tidak merupakan celaan.
Pekerjaan membuktikan sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif bukan pekerjaan jaksa. Dlam hukum pembuktian tidak
ada ketentuan mengenai pembebanan pembuktian adanya sifat melawan hukum
materiil yang negatif, maka beban pembuktian ini jatuh pada hakim dan penasehat
hukum. Sebaliknya Jaksa tetap dibebani kewajban membuktikan terhadap semua
unsur-unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
Contohnya pada penjatuhan hukuman Apidian yang
diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama, karena pertimbangan hakim
menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana
yang dimaksudkan dalam tindak pidana korupsi, tetapi pada tingkat kasasi,
tersangka dijatuhi hukuman pidana penjara selama 12 tahun, hal ini sangat
berbeda. Dapat diyakini bahwa pertimbangan hakim pada tingkat pertama
menggunakan pembuktian formil negatif .
Keadilan
lebih diutamakan dari pada kepastian hukum. Kepastian hukum ditegakkan adalah
untuk mencapai keadilan. Jika keadilan sudah dicapai tanpa menegakkan kepastian
hukum, maka kepastian hukum tidka diperlukan. Inilah filosofi dari penerapan
pandangan sifat melawan hukum materiil secara negatif.
2.
Pembuktian sifat melawan hukum formil
dalam tindak pidana
Sifat melawan hukum formil diartikan unsur melawan hukum
secara tegas dalam rumusan tindak pidana, sifat tercela dari perbuatan dalam
rumusan tindak pidana yang terletak pada Peraturan perundang-undangan. Pembuktian
unsur sifat mealwan hukum formil dalam praktik penegakan hukum pidana
ditentukan dari 2 hal yaitu :
a.
Kedudukan unsur melawan hukum tersebut
diletakkan dalam kalimat rumusan tindka pidana, hubungan antara unsur melawan
hukum dengan unsur-unsur lainnya dalam kompleksitas unsur-unsur tindak pidana.
b.
Bergantung darimana atau sumber
keberadaan sifat terlarangnya perbuatan pada masing-masing kasus.
Ada dua kedudukan dalam unsur melawan hukum dalam
rumusan tindak pidana, yang pertama unsur yang bersifat objektif dan unsur
bersifat subjektif. Cara pembuktian dan pandangan pihak-pihak dalam unsur
subjektif dan objektif berbeda-beda.
Mengenai huruf (b), hal atau seumber keberadaan
sifat melawan hukum dapat menunjukan sumber formil maupun materiil. Seperti
unsur melawan hukum pada Pasal 2 UUTPK jaksa selalu mencari sumber tertulis,
pertauran perundang-undagan yang dilanggar oleh terdakwa dalam melakukan
aktifitas perbuatan memperkaya.
2.
Restrukturisasi Pada Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi Meninjau Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Perkara
Korupsi Dalam Kasus Divestasi Saham 51 % Berdasarkan Kontrak Karya Antara PT.
Kaltim Prima Coal Dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Kebijakan hukum pidana merupakan upaya pemerintah
dalam menganggulangi kejahatan dengan mempergunakan hukum pidana yang disebut
juga sebagai politik kriminal atau politik hukum pidana.
Mengenai
kebijakan hukum pidana ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa :
“ Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh
karena itu sering pula dikatakan, bahwa poilitik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).”
Jika
kaitannya terhadap kebijakan hukum pidana mengenai tindak pidana korupsi, sejak
pemerintah Indonesia merdeka telah berupaya terus untuk itu. Hal ini terbukti
di dalam ketentuan hukum pidana materiil (KUHPidana) yang merupakan warisan
zaman colonial Belanda (Wvs) yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 26 Februari
1946 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun
1958 belum mengatur secara tegas tentang tindak pidana korupsi di Indonesia.
Akan tetapi, pada saat itu hanya dikenal rumusan korupsi dengan istilah
“menyuap atau menyogok” yang berikaitan dengan pegawai negeri atau keuangan dan
perekonomian negara sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 209,
Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 430, dan Pasal 435 KUHPidana.
Istilah
korupsi baru dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP yaitu sejak
adanya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/-06/1857 tanggal 9 April 1957 tentang Pemeberantasan Korupsi. Hal itu
diterbitkan karena negara pada saat itu dalam keadaan bahaya perang.
Dengan
cikal bakal peraturan militer tersebut maka disempurnakanlah di dalam Perpu
Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 Tentang Pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan kembali di dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 Tentang pemeberantasan tindak pidana korupsi, dan setelah
jatuhnya era orde baru dan reformasi lahir, maka lahirlah Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Tentang tindak pidana korupsi.
Ada
beberapa perbedaan yang dapat diambil terhadap lahirnya Undang-undang tipikor
yang baru, diantaranya yaitu pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang
tipikor tidak mengacu pada pasal KUHP tetapi langsung menyebutkan unsure-unsur
delik yang bersangkutan dan menyisipkan/menambahkan pasal baru ke dalam
undang-undang tipikor yaitu pasal 12-A, Pasal12-B, Pasal 12-C, Pasal 26-A,
Pasal 38-A, Pasal 38-B, dan Pasal 38-C serta Pasal 43 tentang ketentuan
peralihan. Selain itu undang-undang perubahan tipikor telah menegaskan tentang
batas maksimum dan minimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang tersebut.
Ada
beberapa perbedaan yang dapat ditemukan pada Undang-undang tipikor terhadap
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 antara
lain :
1. Tindak pidana korupsi dapat
dilakukan oleh korporasi
2. Tindak pidana korupsi
dirumuskan sebagai tindak pidana formil
3. Perluasan tentang pengertian
pegawai negeri
4.
Ancaman pidana diperberat dengan menentukan batas minimum dan
maksimum
5. Adanya sistem pembuktian
terbalik
6.
Dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan
masyarakat.
Restrukturisasi mengenai tindak pidana korupsi bukan saja
terletak pada berubahnya bunyi-bunyi pasal dalam Undang-undang tipikor dari era
orde baru yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang diubah menjadi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana korupsi, tetapi juga terdapat di dalam bunyi pasal RUU KUHP
(berbeda juga dengan pasal di KUHAP). Restrukturisasi ini diidentifikasikan
sebagai hal-hal berikut :
1.
Ada yang mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi beberapa rumusan
delik di dalam KUHP
2.
Ada yang mengubah perumusan delik dalam KUHP
3.
Ada yang menambahkan/memasukkan delik baru dalam KUHP
4.
Ada yang membuat perumusan delik di luar KUHP (diatur dalam
UU khusus di luar KUHP).[9]
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan tipikor yang baru dan ditambah dari adanya RUU KUHP baru ada
dua sarana yang harus ditempuh untuk memberantas perbuatan korupsi yaitu :
1. Sarana Penal
Faktor dan
kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas sekali
(multidimensi) yang pada hakikatnya tidak hanya menyangkut aspek ekonomis saja,
tetapi juga meliputi aspek sosial, budaya, politik serta birokrasi/administrasi
dan sebagainya. Jika diperhatikan terhadap ketentuan hukum, lebih dari cukup
ketentuan tersebut untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi apalagi
sanksi pidana yang mengancamnya juga sudah cukup menjanjikan untuk membuat
takut dan jera bagi pelaku. Namun dalam hal ini tergantung kesiapan hakim untuk
mengimplementasikan ketentuan yang ada secara maksimal dalam putusannya.
2. Sarana Nonpenal
Cara non penal
dapat ditempuh dalam beberapa hal yaitu :
a. Cara moralistik
Cara
moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral
manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan etika dan
hukum.
Mengenai
hak ini Kwik Kian Gie menyatakan bahwa:
“
Dalam mencoba menemukan konsep yang konkret dan dapat dilaksanakan, titik tolak
adalah manusianya yang harus diabuat beabs KKN atau takut melakukan KKN.
Perangkat hukum, lembaga-lemabga, sistem, prosedur, pengambilan keputusan,
transparasi dan sebagainya bukannya tidak penting, ettapi otak manusia yang
tidak terbatas kemampuannya akan selalu mampu menyelewengman atau menghindari
segala sesuatunya”[10]
Pendapat
tersebut menindikasikan bahwa pembinaan moral penting dan utama apabila ingin
membenahi korupsi-korupsi yang terjadi di negeri ini.
b. Cara abolisionistik
Cara
ini berangkat dari asusmsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus
diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian
pennaggulangan diserahkan pada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab
tersebut.
Kemudian
jalan yang ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi
masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah pada tindakan-tindakan
korupsi meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, serta menindak orang-orang
korup berdasarkan hukum yang berlaku.
Yang
perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah bahwa hukum hendaknya ditegakkan
secara konsekuen dan aparat harus menindak siapa saja yang melakukan korupsi
tanpa pandang bulu termasum yang dilakukan korporasi.
Dari
sebab-sebab terjadinya tindak pidana korupsi tersebut dengan melihat
aspek-aspek ekonomis, social, budaya, dan lain-lain maka upaya-upaya nonpenal
yang secara sistem terintegerasi memang relative penetapannya. Namun hal-hal
yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi adalah yaitu :
-
Peran pengawasan dalam penanggulangan korupsi
-
Sistem Kesejahteraan
-
Diterapkannya manajemen mutu dalam setiap kegiatan
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah :
a.
Faktor-faktor yang menyebabkan disapritas penjatuhan hukuman pidana pada kasus divestasi diatas anatara
lain karena sistem peradilan pidana itu sendiri, yang didalamnya terdapat sub
sistem-sub sistem, baik itu cara bekerjanya Polisi, Jaksa (dakwaan), dan hakim
(putusan dan pertimbangan), dan cara-cara penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
di dalam terjadinya sistem peradilan pidana. Unsur melawan hukum tidak disertakan
penjelasan terperinci di dalam KUHAP dan KUHP. Kenyataannya dalam rumusan
tindak pidana, dimana sebgaian kecil unsur melawan hukum dicantumkan dan
sebagian besar tidak. Dari keterangan Risalah penjelasan (Smidt I, halaman 409)
sifat melawan hukum selalu ada pada setiap tindak pidana, merupakan usnusr
mutlak.
- Unsur pembuktian sifat melawan hukum materiil negatif
-
Unsur pembuktian sifat melawan hukum formil positif
b. Ada beberapa
perbedaan yang dapat diambil terhadap lahirnya Undang-undang tipikor yang baru,
diantaranya yaitu pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang tipikor tidak
mengacu pada pasal KUHP tetapi langsung menyebutkan unsure-unsur delik yang
bersangkutan dan menyisipkan/menambahkan pasal baru ke dalam undang-undang
tipikor yaitu pasal 12-A, Pasal12-B, Pasal 12-C, Pasal 26-A, Pasal 38-A, Pasal
38-B, dan Pasal 38-C serta Pasal 43 tentang ketentuan peralihan. Selain itu
undang-undang perubahan tipikor telah menegaskan tentang batas maksimum dan
minimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5
sampai dengan Pasal 10 Undang-undang tersebut.
Ada beberapa perbedaan yang dapat ditemukan pada
Undang-undang tipikor terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 antara lain :
1. Tindak pidana korupsi dapat
dilakukan oleh korporasi
2. Tindak pidana korupsi dirumuskan
sebagai tindak pidana formil
3. Perluasan tentang pengertian
pegawai negeri
4. Ancaman pidana diperberat
dengan menentukan batas minimum dan maksimum
5. Adanya sistem pembuktian
terbalik
6. Dibentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan masyarakat.
[1] Pasal 66 Peraturan
Pemerintah 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967
Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan
[4] Pasal 1 angka 2
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Divesasi terhadap Investasi Pemerintah.
[5] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hal. 766
[6] https://www.gogle.com. Hiariej.O.S.Eddy. 2010. Uraian Secara
Kronlogis Dugaan Korupsi Penjualan Saham PT. Kaltim Prima Coal Milik PT. Kutai
Timur Energi sebesar 5 %.
[7] Dalam bidang ekonomi, banyak sekali sistem lainnya dalam
masyarakat yang tergantung kepada ekonomi, hampir dari semua perkara yang masuk
ke pengadilan, terdakwanya beralasan karena ekonomi. Dan sampai urusan mencari
keadilan pun harus dengan ekonomi. Dalam hal ini M. Harvey Brenner mengatakan :
Di dalam transformasi politik ini, inidkator utama kedudukan sosial bergeser
dari indikator yang semula didasarkan pada hubungan kekeluargaan dalam stuktur
soisla menjadi indikator yang didasarkan pada ekonomi di dalam struktur
industri. Dengan demikian pengertian di dalam bidang ekonomi itu sendiri
semakin lama akhirnya menjadi cermin nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Yang
akibatnya semua hubungan kemasyarakatan didasarkan pada hubungan ekonomis.
Selanjutnya dapat dilihat dari M Haervey Brener, Pengaruh Ekonomi Terhadap
Perilaku Jahat Dan Penyelenggaraan Peradilan pidana, CV. Rajawali Jakarta,
1986. Hlm. 6-7. Pengaruh ekonomi terhadap peradilan pidana dapat juga dilihat
dari JE Hall Wiliams, Criminology And Criminal Justice London; Butterworths,
1982, hlm 230.
[8] Yunara, Edi. 2005. Korupsi
dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi; Berikut Studi Kasus. Citra Aditya
Bakti. Bandung
[9] Arief. N Barda. 2007.
RUU KUHP Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Pustaka
Magister. Semarang
[10] Kwik Kian gie dalam
Musni Umar dan Syukri Ilyas, Korupsi
Musuh Bersama, Lembaga Pencegah Korupsi, Jakarta. 2004. Hlm. 1-2.
24 April 2020 pukul 03.51
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut